Langkahku
semakin menjauh. Aku tidak bisa melawan arah angin yang datang menerjang. Perasaan
ini bukan kuasaku, aku hanya terbawa arus. Aku tak mampu berbalik arah..
Langkahku
semakin menjauh. Menjauh dari dua hati yang selama ini membelenggu. Mungkinkah ini
jawaban dari Tuhan?
Aku
telah lewat jenuh, hanya saja belum cukup kuat untuk melepaskan.. Tuhan, apa
ini saatnya?
Semakin
mencoba untuk melupakan, bayang-bayangnya semakin jelas terlihat. Meminta untuk
kembali, memberi maaf dan memberi kesempatan untuk bersama lagi. Aku tak kuasa
menolak atau sekedar menggeleng tanda tidak terima. Aku begitu rapuh.
Hidup
di antara dua hati adalah bahagia-bahagia menyakitkan. Apa jadinya jika salah
satu diantara mereka menjadi bagian dari dirimu, bagaimana mungkin kamu
menyakiti hati yang satunya?? atau mungkin ke duanya tidak menjadi bagian
dirimu, bagaimana mungkin kamu melapangkan dada untuk menerima semuanya? Berat pasti
.
Jatuh
di antara dua hati adalah dilema berkepanjangan. Di mana keduanya menjanjikan
bahagia apabila waktunya, apa bahagia butuh waktu untuk hadir dalam hidup kita?
Bukankah bahagia akan tercipta dengan sendirinya? Lalu apa makna kata sampai
tiba waktunya? Ataukah mungkin “ sampai tiba waktunya = nanti ya kalau aku
sudah siap ” ..
Kenapa
harus menunggu kamu siap lalu cinta itu ada? Bukankah cinta tercipta dengan
sendirinya? Lalu untuk apa menunggu hingga tiba waktunya?
Ini
bagian dari protes terbesarku untuk hati yang seenaknya saja menggantung. Datang
dan pergi sesukanya. Menganggap semuanya baik-baik saja, eh salah, harusnya menganggap semuanya akan selalu
baik-baik saja.
Apa
hati yang menggantung tidak tahu bagaimana rasanya pahit berjuang sendirian? Apa
hati yang menggantung lupa bahwa menunggu itu adalah hal yang sangat
meletihkan? Apa hati yang menggantung itu kurang peka atau tidak peduli? Bahwa
di ujung sana, ada hati yang rela berkorban hanya untuk menunggu sebuah
kepastian.. Kepastian yang belum pasti happy ending..
Seperti
itu kah cinta?
Bukankah
cinta tidak akan setega itu membuat cintanya menunggu terlalu lama?
Bukankah
cinta tidak akan sampai hati membuat pasangannya menjatuhkan air mata, hanya
karena menahan rindu yang sangat hebat?
Atau
mungkin ini bukan cinta, mungkin saja ini hanya sebuah obsesi terpendam untuk
diwujudkan nanti, ntah kapan..
Haruskah
cinta menunggu lebih lama?
Haruskah
cinta mengeluarkan lebih banyak air mata?
Haruskah
cinta selalu berkorban tanpa pamrih?
Dimana
letak bahagia cinta yang sesungguhnya?