Baru
kali ini aku merasa hujan begitu tega kepadaku. Ketika matahari bersinar terang
benderang, aku dengan begitu bahagia, begitu semangat untuk segera
menyelesaikan cucianku. Berlari riang masuk ke dalam rumah, lalu keluar kembali
dengan membawa 2 buah ember berisi pakaian-pakaian yang telah ku bilas bersih.
Sesaat
setelah semua pakaianku berjejer rapi di jemuran, hujan tiba-tiba mengguyur
begitu derasnya tanpa permisi. Aku kembali menoleh ke arah jemuran, diam
sejenak. Rasanya ingin berteriak “ Kenapa tidak bilang kalau mau turun? Setelah
semua cucianku digantungkan pada besi jemuran? Kenapa begitu tega? Kenapa?
Tidak kah kau tahu bahwa 5 hari lamanya, aku menunggu sampai matahari datang,
tersenyum dan berkilau indah di depan mataku? Kenapa?. “ Oh tidaak, sepertinya aku
sedikit gila. Harusnya aku tidak lupa bahwa langit tak mendengar seperti judul
lagu band ternama Noah.
Aku
ingin memaki kepada siapa? Bukankah aku menyukai hujan? Air yang turun dari
langit, yang di dalam rinainya aku selalu menitipkan rindu di sana. Tapi tidak
kali ini, aku kecewa begitu dalam rasanya. Lihatlah bagaimana, kilau matahari
dan rinai hujan mempermainkanku saat ini. Seperti itukah rasanya diberi harapan
palsu? Sesakit itu kah?
Kawanku, dengarlah..
Jangan memberi dan
menaruh harap yang lebih kepada siapapun!
Kau akan tahu bagaimana
rasanya terbang dan jatuh dalam waktu bersamaan, seperti halnya jatuh cinta dan
patah hati yang 1 paket. Akan selalu berjalan beriringan.
Seperti halnya sebuah
musim, kita tidak pernah bisa menebak. Bahkan di tengah sinar matahari yang
benderang, langit yang begitu cerah, hujan bisa turun kapan saja.
Aku
masih terpaku diam berdiri, hingga tersadar tidak ada gunanya meratapi hujan
ini. Ku ambil pakaianku kembali dari jemuran lalu masuk ke dalam rumah.
10
menit setelah aku duduk lemah, matahari kembali bersinar.
Jangan
permainkan aku lagi..